Senin, 01 Oktober 2012

Akhir Pemerintahan Pak Karno

Tulisan ini diambil dari catatan facebook Salman Al Farisyi

Semua ajudan menangis saat
tau Bung Karno mau pergi
"Kenapa bapak tidak
melawan''
Taklama setelah mosi tidak
percaya parlemen bentukan
Nasution di tahun 1967 dan
MPRS menunjuk Suharto seba
gai Presiden RI, Bung Karno
menerima
surat untuk segera
meninggalkan Istana dalam
waktu 2 X 24 Jam. Bung
Karno tidak diberi waktu untuk
menginventarisir barang-
barang
pribadinya. Wajah-wajah
tentara yang mengusir Bung
Karno tidak
bersahabat lagi. “Bapak harus
cepat meninggalkan Istana ini
dalam waktu
dua hari dari sekarang!”.
Bung Karno pergi ke ruang
makan dan melihat Guruh
sedang membaca sesuatu di
ruang itu. “Mana kakak-
kakakmu”kata Bung Karno.
Guruh menoleh ke arah
Bapaknya dan berkata
“Merekapergi ke rumah Ibu”.
Rumah Ibu yang dimaksud
adalah rumah Fatmawati
diJalan Sriwijaya, Kebayoran
Baru. Bung Karno berkata lagi
“Mas Guruh,Bapak tidak boleh
lagi tinggal di Istana ini lagi,
kamu persiapkanbarang-
barangmu, jangan kamu ambil
lukisan atau hal lain, itu
punyanegara”. Kata Bung
Karno, lalu Bung Karno
melangkah ke arah ruang
tamuIstana disana ia
mengumpulkan semua ajudan-
ajudannya yang setia.
Beberapa ajudannya sudah
tidak kelihatan ia maklum,
ajudan itu sudahditangkapi
karena diduga terlibat
Gestapu. “Aku sudah tidak
bolehtinggal di Istana ini lagi,
kalian jangan mengambil
apapun,
Lukisan-lukisan itu, Souvenir
dan macam-macam barang. Itu
milik negara.
melawan, kenapa dari dulu
bapak tidak melawan…” Salah
satu ajudan
separuh berteriak memprotes
tindakan diam Bung Karno.
“Kalian tau apa,
kalau saya melawan nanti
perang saudara, perang
saudara itu sulit
jikalau perang dengan Belanda
jelas hidungnya beda dengan
hidung kita.
Perang dengan bangsa sendiri
tidak, wajahnya sama dengan
wajahmu…keluarganya sama
dengan keluargamu, lebih baik
saya yang robek
dan hancur daripada bangsa
saya harus perang saudara”.
Tiba-tiba
beberapa orang dari dapur
berlarian saat mendengar
Bung Karno mau
meninggalkan Istana. “Pak
kamu memang tidak ada
anggaran untuk masak,
tapi kami tidak enak bila bapak
pergi, belum makan.kami
patungan dari uang kami untuk
masak agak enak dari
biasanya”. Bung Karno tertawa
“Ah, sudahlah sayur lodeh basi
tiga itu malah enak, kalian
masak sayur lodeh saja. Aku ini
perlunya apa…”
Di hari kedua
saat Bung Karno sedang
membenahi baju-bajunya
datang perwira suruhan
Orde Baru. “Pak, Bapak harus
segera meninggalkan tempat
ini”. Beberapa
tentara sudah memasuki
ruangan tamu dan menyebar
sampai ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan
Bung Karno dengan senapan
terhunus. Bung
Karno segera mencari koran
bekas di pojok kamar, dalam
pikiran Bung
Karno yang ia takutkan adalah
bendera pusaka akan diambil
oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno
membungkus bendera pusaka
dengan koran
bekas, ia masukkan ke dalam
kaos oblong, Bung Karno
berdiri sebentar
menatap tentara-tentara itu,
namun beberapa perwira
mendorong tubuh Bung
Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah
Ajudannya Saelan dan
Bung Karno menoleh ke arah
Saelan. “Aku pergi dulu” kata
Bung Karno
dengan terburu-buru. “Bapak
tidak berpakaian rapih dulu,
Pak” Saelan
separuh berteriak. Bung Karno
hanya mengibaskan tangannya.
Bung Karno
langsung naik VW Kodok, satu-
satunya mobil pribadi yang ia
punya dan
meminta sopir diantarkan ke
Jalan Sriwijaya, rumah Ibu
Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung
Karno hanya duduk seharian
saja di pojokan
halaman, matanya kosong. Ia
meminta bendera pusaka
dirawat hati-hati.
Bung Karno kerjanya hanya
mengguntingi daun-daun di
halaman.
Kadang-kadang ia memegang
dadanya yang sakit, ia sakit
ginjal parah
namun obat yang biasanya
diberikan sudah tidak boleh
diberikan. Sisa
obat di Istana dibuangi. Suatu
saat Bung Karno mengajak
ajudannya yang
bernama Nitri untuk jalan-
jalan. Saat melihat duku, Bung
Karno kepengen
duku tapi dia tidak punya uang.
“Aku pengen duku, …Tru, Sing
Ngelah Pis,
aku tidak punya uang” Nitri
yang uangnya pas-pasan juga
melihat ke
dompetnya, ia merasa
cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri
mendatangi tukang duku dan
berkata “Pak Bawa dukunya ke
orang yang ada
di dalam mobil”. Tukang duku
itu berjalan dan mendekat ke
arah Bung
Karno. “Mau pilih mana, Pak
manis-manis nih ” sahut tukang
duku dengan
logat betawi kental. Bung
Karno dengan tersenyum
senang berkata “coba
kamu cari yang enak”. Tukang
Duku itu mengernyitkan
dahinya, ia merasa
kenal dengan suara ini. Lantas
tukang duku itu berteriak
“Bapak…Bapak….Bapak…Itu
Bapak…Bapaak” Tukang duku
malah berlarian ke
arah teman-temannya di
pinggir jalan” Ada Pak Karno,
Ada Pak Karno….”
mereka berlarian ke arah
mobil VW Kodok warna putih
itu dan dengan serta
merta para tukang buah
memberikan buah-buah pada
Bung Karno. Awalnya
Bung Karno tertawa senang, ia
terbiasa menikmati dengan
rakyatnya. Tapi
keadaan berubah kontan
dalam pikiran Bung Karno, ia
takut rakyat yang
tidak tau apa-apa ini lantas
digelandang tentara gara-gara
dekat dengan
dirinya. “Tri, berangkat
….cepat” perintah Bung Karno
dan ia melambaikan
ke tangan rakyatnya yang
terus menerus memanggil
namanya bahkan ada
yang sampai menitikkan air
mata. Mereka tau
pemimpinnya dalam keadaan
susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno
sering keluar dari Jalan
Sriwijaya, membuat beberapa
perwira pro Suharto tidak
suka. Tiba-tiba
satu malam ada satu tuk ke
rumah Fatmawati dan mereka
memindahkan Bung
Karno ke Bogor. Di Bogor ia
dirawat oleh Dokter Hewan!…
Taklama setelah Bung Karno
dipindahkan ke Bogor,
datanglah Rachmawati, ia
melihat ayahnya dan menangis
keras-keras saat tau wajah
ayahnya
bengkak-bengkak dan sulit
berdiri. Saat melihat
Rachmawati, Bung Karno
berdiri lalu terhuyung dan
jatuh. Ia merangkak dan
memegang kursi.
Rachmawati langsung teriak
menangis. Malamnya
Rachmawati memohon pada
Bapaknya agar pergi ke
Jakarta saja dan dirawat
keluarga. “Coba aku
tulis surat permohonan kepada
Presiden” kata Bung Karno
dengan suara
terbata. Dengan tangan
gemetar Bung Karno menulis
surat agar dirinya
bisa dipindahkan ke Jakarta
dan dekat dengan anak-
anaknya. Rachmawati
adalah puteri Bung Karno yang
paling nekad. Pagi-pagi setelah
mengambil
surat dari bapaknya, Rachma
langsung ke Cendana rumah
Suharto. D
Cendana ia ditemui Bu Tien
yang kaget saat melihat
Rachma ada di teras
rumahnya. “Lhol, Mbak
Rachma ada apa?” tanya Bu
Tien dengan nada kaget.
Bu Tien memeluk Rachma,
setelah itu Rachma bercerita
tentang nasib
bapaknya. Hati Bu Tien rada
tersentuh dan menggemgam
tangan Rachma lalu
dengan menggemgam tangan
Rachma bu Tien mengantarkan
ke ruang kerja Pak
Harto. “Lho, Mbak
Rachma..ada apa?” kata Pak
Harto dengan nada santun.
Rachma-pun menceritakan
kondisi Bapaknya yang sangat
tidak terawat di
Bogor. Pak Harto berpikir
sejenak dan kemudian
menuliskan memo yang
memerintahkan anak buahnya
agar Bung Karno dibawa ke
Djakarta.
Diputuskan Bung Karno akan
dirawat di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke
Wisma Yaso, tapi kali ini
perlakuan tentara lebih keras.
Bung Karno sama sekali tidak
diperbolehkan keluar dari
kamar. Seringkali
ia dibentak bila akan
melakukan sesuatu, suatu saat
Bung Karno tanpa
sengaja menemukan lembaran
koran bekas bungkus sesuatu,
koran itu
langsung direbut dan ia
dimarahi. Kamar Bung Karno
berantakan sekali,
jorok dan bau. Memang ada
yang merapihkan tapi tidak
serius. Dokter yang
diperintahkan merawat Bung
Karno, dokter Mahar Mardjono
nyaris menangis
karena sama sekali tidak ada
obat-obatan yang bisa
digunakan Bung
Karno. Ia tahu obat-obatan
yang ada di laci Istana sudah
dibuangi atas
perintah seorang Perwira
Tinggi. Mahar hanya bisa
memberikan Vitamin dan
Royal Jelly yang sesungguhnya
hanya madu biasa. Jika sulit
tidur Bung
Karno diberi Valium, Sukarno
sama sekali tidak diberikan
obat untuk
meredakan sakit akibat
ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumorberedar di
masyarakat bahwa Bung Karno
hidup sengsara di Wisma
Yaso,beberapa orang diketahui
akan nekat membebaskan
Bung Karno. Bahkan ada
satu pasukan khusus KKO
dikabarkan sempat menembus
penjagaan Bung Karno
dan berhasil masuk ke dalam
kamar Bung Karno, tapi Bung
Karno menolak
untuk ikut karena itu berarti
akan memancing perang
saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung
Karno datang ke rumah
Fatmawati untuk
menghadiri pernikahan
Rachmawati. Bung Karno yang
jalan saja susah
datang ke rumah isterinya itu.
Wajah Bung Karno bengkak-
bengkak. Ketika
tau Bung Karno datang ke
rumah Fatmawati, banyak
orang langsung
berbondong-bondong ke sana
dan sesampainya di depan
rumah mereka
berteriak “Hidup Bung
Karno….hidup Bung
Karno….Hidup Bung
Karno…!!!!!”
Sukarno yang reflek karena ia
mengenal benar gegap
gempita seperti ini,
ia tertawa dan melambaikan
tangan, tapi dengan kasar
tentara menurunkan
tangan Sukarno dan
menggiringnya ke dalam. Bung
Karno paham dia adalah
tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari
penyakit Bung Karno parah
sekali ia tidak kuat berdiri,
tidur saja. Tidak boleh ada
orang yang bisa masuk. Ia
sering berteriak kesakitan.
Biasanya penderita penyakit
ginjal memang akan diikuti
kondisi psikis yang kacau. Ia
berteriak ” Sakit….Sakit ya
Allah…Sakit…” tapi tentara
pengawal diam
saja karena diperintahkan
begitu oleh komandan. Sampai-
sampai ada satu
tentara di depan kamar.
Kepentingan politik tak bisa
memendung rasa
kemanusiaan, dan air
mata adalah bahasa paling
jelas dari rasa kemanusiaan
itu.
Hatta yang dilapori kondisi
Bung Karno menulis surat pada
Suharto dan
mengecam cara merawat
Sukarno. Di rumahnya Hatta
duduk di beranda sambil
menangis sesenggukan, ia
teringat sahabatnya itu. Lalu
dia bicara pada
isterinya Rachmi untuk
bertemu dengan Bung Karno.
“Kakak tidak mungkin
kesana, Bung Karno sudah jadi
tahanan politik” Hatta menoleh
pada
isterinya dan berkata “Sukarno
adalah orang terpenting dalam
pikiranku,
dia sahabatku, kami pernah
dibesarkan dalam suasana
yang sama agar
negeri ini merdeka. Bila
memang ada perbedaan
diantara kita itu lumrah
tapi aku tak tahan mendengar
berita Sukarno disakiti seperti
ini”. Hatta
menulis surat dengan nada
tegas kepada Suharto untuk
bertemu Sukarno,
ajaibnya surat Hatta langsung
disetujui, ia diperbolehkan
menjenguk Bung
Karno.
Hatta datang sendirian ke
kamar Bung Karno yang sudah
hampir tidak sadar, tubuhnya
tidak kuat menahan sakit
ginjal. Bung Karno
membuka matanya. Hatta
terdiam dan berkata pelan
“Bagaimana kabarmu,
No kata Hatta ia tercekat mata
Hatta sudah basah. Bung Karno
berkata
pelan dan tangannya berusaha
meraih lengan Hatta “Hoe gaat
het met Jou?”
kata Bung Karno dalam bahasa
Belanda – Bagaimana pula
kabarmu, Hatta –
Hatta memegang lembut
tangan Bung Karno dan
mendekatkan wajahnya, air
mata Hatta mengenai wajah
Bung Karno dan Bung Karno
menangis seperti
anak kecil. Dua proklamator
bangsa ini menangis, di sebuah
kamar yang
bau dan jorok, kamar yang
menjadi saksi ada dua orang
yang memerdekakan
bangsa ini di akhir hidupnya
merasa tidak bahagia, suatu
hubungan yang
menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang,
Bung Karno meninggal. Sama
saat Proklamasi 1945 Bung
Karno menunggui Hatta di
kamar untuk segera membacai
Proklamasi, saat kematiannya-
pun Bung Karno jugakesalahan
seperti ini lagi
seolah menunggu Hatta dulu,
baru ia berangkat menemui
Tuhan.
Mendengar kematian Bung
Karno rakyat berjejer-jejer
berdiri di jalan.
Rakyat Indonesia dalam kondisi
bingung. Banyak rumah yang
isinya hanya
orang menangis karena Bung
Karno meninggal. Tapi tentara
memerintahkan
agar jangan ada rakyat yang
hadir di pemakaman Bung
Karno. Bung Karno
ingin dikesankan sebagai
pribadi yang senyap, tapi
sejarah akan kenangan
tidak bisa dibohongi. Rakyat
tetap saja melawan untuk
hadir. Hampir 5
kilometer orang antre untuk
melihat jenazah Bung Karno, di
pinggir jalan
Gatot Subroto banyak orang
berteriak menangis. Di Jawa
Timur tentara
yang melarang rakyat melihat
jenasah Bung Karno menolak
dengan hanya
duduk-duduk di pinggir jalan,
mereka diusiri tapi datang lagi.
Tau sikap
rakyat seperti itu tentara
menyerah. Jutaan orang
Indonesia berhamburan
di jalan-jalan pada 21 Juni 1970.
Hampir semua orang yang rajin
menulis
catatan hariannya pasti
mencatat tanggal itu sebagai
tanggal
meninggalnya Bung Karno
dengan rasa sedih. Koran-
koran yang isinya hanya
menjelek-jelekkan Bung Karno
sontak tulisannya memuja
Bung Karno.
Bung Karno yang sewaktu sakit
dirawat oleh dokter hewan,
tidak
diperlakukan dengan secara
manusiawi. Mendapatkan
keagungan yang luar
biasa saat dia meninggal.
Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan,
mereka melambai-lambaikan
tangan dan menangis. Mereka
berdiri kepanasan,
berdiri dengan rasa cinta
bukan sebuah keterpaksaan.
Dan sejarah
menjadi saksi bagaimana
sebuah memperlakukan orang
yang kalah, walaupun
orang yang kalah itu adalah
orang yang memerdekakan
bangsanya, orang
yang menjadi alasan terbesar
mengapa Indonesia harus
berdiri, Tapi dia
diperlakukan layaknya
binatang terbuang, semoga
kita tidak mengulangi.

#maaf, tulisannya kayak gini. hehehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar