Sama Kayak post sebelumnya, dari catatan Salman Al farisyi
Sedari pagi, suasana
mencekam sudah terasa.
Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden
Soekarno akan dibawa ke
rumah sakit ini dari rumah
tahanannya di Wisma Yaso
yang hanya berjarak lima
kilometer.
Malam ini desas-desus itu
terbukti. Di dalam ruang
perawatan yang sangat
sederhana untuk ukuran
seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di
pembaringan. Sudah beberapa
hari ini kesehatannya sangat
mundur. Sepanjang hari, orang
yang dulu pernah sangat
berkuasa ini terus
memejamkan mata. Suhu
tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak
dirawat secara semestinya kian
menggerogoti kekuatan
tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat
jantan dan berwibawa-dan
sebab itu banyak digila-gilai
perempuan seantero jagad,
sekarang tak ubahnya bagai
sesosok mayat hidup. Tiada
lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi
gingsulnya telah membengkak,
tanda bahwa racun telah
menyebar ke mana-mana.
Bukan hanya bengkak, tapi
bolong-bolong bagaikan
permukaan bulan. Mulutnya
yang dahulu mampu menyihir
jutaan massa dengan pidato-
pidatonya yang sangat
memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-
sebentar bibirnya gemetar.
Menahan sakit. Kedua
tangannya yang dahulu
sanggup meninju langit dan
mencakar udara, kini tergolek
lemas di sisi tubuhnya yang
kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal
menunggu waktu.
Dua hari kemudian, Megawati,
anak sulungnya dari Fatmawati
diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya.
Menyaksikan ayahnya yang
tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya,
kedua mata Mega menitikkan
airmata. Bibirnya secara
perlahan didekatkan ke telinga
manusia yang paling
dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua
matanya juga tidak membuka.
Namun kedua bibir Soekarno
yang telah pecah-pecah
bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan
sesuatu pada puteri sulungnya
itu. Soekarno tampak
mengetahui kehadiran
Megawati. Tapi dia tidak
mampu membuka matanya.
Tangan kanannya bergetar
seolah ingin menuliskan
sesuatu untuk puteri
sulungnya, tapi tubuhnya
terlampau lemah untuk
sekadar menulis. Tangannya
kembali terkulai. Soekarno
terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu,
perasaan Megawati amat
terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik
jatuh. Kian deras. Perempuan
muda itu menutupi hidungnya
dengan sapu tangan. Tak kuat
menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan
limbung. Mega segera dipapah
keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di
luar kamar, sepasukan tentara
terus berjaga lengkap dengan
senjata.
Malam harinya ketahanan
tubuh seorang Soekarno
ambrol. Dia coma. Antara
hidup dan mati. Tim dokter
segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil
presiden Muhammad Hatta
diizinkan mengunjungi kolega
lamanya ini. Hatta yang
ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan
Soekarno dengan sangat hati-
hati. Dengan segenap kekuatan
yang berhasil dihimpunnya,
Soekarno berhasil membuka
matanya. Menahan rasa sakit
yang tak terperi, Soekarno
berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa
menyembunyikan
kesedihannya. Namun Hatta
tidak mau kawannya ini
mengetahui jika dirinya
bersedih. Dengan sekuat
tenaga memendam kepedihan
yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno
dengan wajar. Sedikit
tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu,
No?”
Hatta menyapanya dengan
sebutan yang digunakannya di
masa lalu. Tangannya
memegang lembut tangan
Soekarno. Panasnya menjalari
jemarinya. Dia ingin
memberikan kekuatan pada
orang yang sangat
dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-
tiba, masih dengan lemah, dia
balik bertanya dengan bahasa
Belanda. Sesuatu yang biasa
mereka berdua lakukan ketika
mereka masih bersatu dalam
Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?”
Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri
tersenyum. Tangannya masih
memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak
bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di
depan kawan seperjuangannya,
bagai bayi yang kehilangan
mainan. Hatta tidak lagi
mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya
bobol. Airmatanya juga
tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang
sempat berpisah itu saling
berpegangan tangan seolah
takut berpisah. Hatta tahu,
waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini
tidak akan lama lagi. Dan
Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa
pukulan yang dialami
sahabatnya ini. Sesuatu yang
hanya bisa dilakukan oleh
manusia yang tidak punya
nurani.
“No…”
Hanya itu yang bisa terucap
dari bibirnya. Hatta tidak
mampu mengucapkan lebih.
Bibirnya bergetar menahan
kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya
terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa
baru yang sampai hati
menyiksa bapak bangsa ini.
Walau prinsip politik antara
dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu
sama sekali tidak merusak
persabatannya yang demikian
erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan
Soekarno ketika kawannya ini
kembali memejamkan
matanya.
Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian
tipis.
Sehari setelah pertemuan
dengan Hatta, kondisi
Soekarno yang sudah buruk,
terus merosot. Putera Sang
Fajar itu tidak mampu lagi
membuka kedua matanya.
Suhu badannya terus meninggi.
Soekarno kini menggigil. Peluh
membasahi bantal dan
piyamanya. Malamnya Dewi
Soekarno dan puterinya yang
masih berusia tiga tahun,
Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali
pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970.
Dokter Mardjono, salah
seorang anggota tim dokter
kepresidenan seperti biasa
melakukan pemeriksaan rutin.
Bersama dua orang paramedis,
Dokter Mardjono memeriksa
kondisi pasien istimewanya ini.
Sebagai seorang dokter yang
telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak
akan lama lagi. Dengan sangat
hati-hati dan penuh hormat, dia
memeriksa denyut nadi
Soekarno. Dengan sisa
kekuatan yang masih ada,
Soekarno menggerakkan
tangan kanannya, memegang
lengan dokternya. Mardjono
merasakan panas yang
demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba
tangan yang panas itu terkulai.
Detik itu juga Soekarno
menghembuskan nafas
terakhirnya. Kedua matanya
tidak pernah mampu lagi untuk
membuka. Tubuhnya tergolek
tak bergerak lagi. Kini untuk
selamanya.
Situasi di sekitar ruangan
sangat sepi. Udara sesaat
terasa berhenti mengalir.
Suara burung yang biasa
berkicau tiada terdengar.
Kehampaan sepersekian detik
yang begitu mencekam.
Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang
pembuat sejarah yang penuh
kontroversi. Banyak orang
menyayanginya, tapi banyak
pula yang membencinya.
Namun semua sepakat,
Soekarno adalah seorang
manusia yang tidak biasa. Yang
belum tentu dilahirkan kembali
dalam waktu satu abad.
Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera
memanggil seluruh rekannya,
sesama tim dokter
kepresidenan. Tak lama
kemudian mereka
mengeluarkan pernyataan
resmi: Soekarno telah
meninggal.
Berita kematian Bung Karno
dengan cara yang amat
menyedihkan menyebar ke
seantero Pertiwi. Banyak orang
percaya bahwa Bung Karno
sesungguhnya dibunuh secara
perlahan oleh rezim penguasa
yang baru ini. Bangsa ini benar-
benar berkabung. Putera Sang
Fajar telah pergi dengan status
tahanan rumah. Padahal dia
merupakan salah satu
proklamator kemerdekaan
bangsa ini dan menghabiskan
25 tahun usia hidupnya
mendekam dalam penjara
penjajah kolonial Belanda demi
kemerdekaan negerinya.